Sabtu, 13 Februari 2021

Potret Penerapan Zero Waste Cities Di Tingkat Desa

Saat ini kita begitu dimanjakan dengan penggunaan kemasan sekali pakai. Mulai dari rumah, kantor, sekolah hingga bisnis, semua tak bisa lepas darinya. Praktis, murah dan mudah didapat adalah beberapa alasan mengapa kemasan tersebut menjadi pilihan. Sehingga penggunaan kemasan tersebut rasanya sudah biasa kita jumpai. 


Keadaan TPA Sarimukti
(Dokumentasi YPBB)

Disisi lain, penggunaan kemasan tersebut memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan ekosistem. Apalagi upaya daur ulang masih sangat minim diterapkan. 


Sumber : Buku Bye Bye Sekali Pakai
(Infografis : Koleksi Pribadi) 

Data di atas menunjukkan bahwa upaya daur ulang sampah di negeri ini hanya menyentuh angka 7%. Apalagi menurut Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI), Dini Trisyanti, ada lebih dari 380 TPA di Indonesia setidaknya 8.200 hektar yang sebagian akan atau sudah penuh. Itu artinya upaya daur ulang harus benar-benar diupayakan sebelum sampah berakhir ke TPA. Terlihat pula bahwa 24% dari total pengelolaan sampah dibuang secara serampangan. Akibatnya, hal ini menyebabkan polusi tak terkecuali di lautan. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck dari University of Georgia, pada tahun 2010, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia dengan angka 1,29 juta ton per tahun setelah China. 


Data Polusi Sampah di Lautan
(www.mongabay.co.id)

Hal ini tentu menjadi kekhawatiran bagi kita tentang bagaimana nasib bumi di masa mendatang. Mungkin angka tersebut masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan total produksi sampah yang mencapai 65 juta ton/tahun. Namun tidakkah kita berpikir bahwa produk plastik kemasan memerlukan waktu ratusan tahun agar bisa terurai secara sempurna. 

Daur Ulang Saja Tidak Cukup 

Upaya mendaur ulang kemasan sekali pakai memang dipandang sebagai langkah untuk mengurangi jumlah sampah plastik di negeri ini. Namun upaya ini sejatinya hanyalah menunda sampah plastik ke lingkungan atau lautan. 

Ibarat sebuah bak mandi yang terus meluap karena keran air yang masih menyala dan membasahi lantai hingga keluar kamar mandi. Tentu kita tidak akan langsung berpikir untuk mengepel sebelum mematikan kerannya. 

Nah, lalu bagaimana solusinya? Saatnya memulai gaya hidup zero waste. Apa itu zero waste

Dalam laman zerowaste.id, zero waste adalah filosofi yang dijadikan sebagai gaya hidup demi mendorong siklus hidup sumber daya sehingga produk-produk bisa digunakan kembali. Zero waste juga soal menjauhi single use plastic atau plastik yang hanya digunakan sekali. Tujuannya adalah agar sampah tidak dikirim ke landfill. 

Artinya zero waste tidak hanya mengenai recycle atau mendaur ulang. Zero waste dimulai dari Rethink. Artinya bagaimana kita harus benar-benar memikirkan ulang saat harus membeli barang. Baru setelah itu kita memulai Refuse, Reduce, and Reuse pada sampah sekali pakai. Saat benar-benar sudah tidak memungkinkan untuk 3 hal tadi, baru dilakukan Recycle and Rot. 

Role Model Zero Waste Cities Di Pedesaan

Hasil dari membaca berbagai artikel, saya banyak menemukan zero waste cities di perkotaan. Bahkan beberapa wilayah menyediakan bank sampah sebagai wadah untuk mendaur ulang sampah sehingga menjadi produk yang bernilai ekonomi. 

Hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat desa yang masih sangat jarang dengan gaya hidup seperti ini. Jangankan berbicara zero waste, keberadaan TPA saja masih sulit dijumpai. Akhirnya, masyarakat desa lebih sering membuang sampah ke sungai, lahan kosong atau membakarnya. 

Namun bukan berarti hal ini belum pernah ada diterapkan di masyarakat tingkat pedesaan. Sudah ada beberapa desa yang menjadi role model penerapan zero waste cities. Salah satunya adalah di Dusun Krajan, Desa Wringinanom, Gresik. Melalui kerja sama dengan Yayasan Ecoton untuk membuat pengelolaan sampah di tingkat desa-desa, dalam program 'RAPI AMAN'. Slogan ini memilik arti 

1. kuRAngi plastik

2. PIsah 3 sampah dari rumah menjadi organik, daur ulang, dan residu. Proses pemilahan sampah menjadi hal yang cukup penting dilakukan untuk memudahkan petugas TPST dan proses selanjutnya. Proses ini memang perlu edukasi dari semua pihak. 

3. Angkut sampah ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST)

4. MANfaatkan sampah dengan cara yang aman

Program ini dibuat agar masyarakat mulai terbiasa untuk melakukan pemilahan sampah mulai dari rumah sebelum dibuang ke TPST. Pemilahan sampah sejak dari rumah adalah syarat wajib yang harus dilakukan semua pelanggan TPST.

Dibawah ini beberapa dokumentasi kegiatan ZWC Ecoton di Desa Wringinanom. 


Kegiatan Meneliti Kualitas Air
(Instagram Ecoton)

Studi KarakterbSampah dan Brand Audit
(Instagram Ecoton)

Proses Pemilahan Sampah
(Instagram Ecoton)

Harapannya hal ini bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain untuk menerapkan ZWC. Dukungan dari pemerintah dan para birokrat tentu sangat diperlukan. Apalagi sebetulnya program ZWC ini sejalan dengan program pemerintah yang tercantum dalam Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah dalam langkah pengurangan sampah sebanyak 30% dan penanganan sampah sebanyak 70% pada tahun 2025. 

Semoga bermanfaat. 




Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

<< Beranda