Langsung ke konten utama

Bermimpi ke Baitullah



Semua orang pasti punya mimpi,  harapan dan cita-cita. Termasuk bermimpi dan bercita-cita untuk pergi ke Baitullah.  Bukan hal mudah ketika seseorang punya mimpi tersebut.  Sebab ada harga yang harus dibayar agar bisa pergi kesana.
Namun pernahkah kita berpikir bahwa dahulu ada masa saat pergi ke baitullah bukanlah hambatan besar?
Namun seolah tak terbayangkan oleh kita hari ini sebab faktanya kita bisa melihat ada orang yang harus bertahun-tahun menabung dan menyisihkan penghasilannya agar kelak bisa berkunjung ke rumah Allah untuk bisa menunaikan ibadah haji atau umrah.  Adapula yang sudah punya kemampuan harta namun ia harus menunggu antrian panjang ketika ingin pergi menunaikan haji.
Padahal dahulu, saat islam masih berjaya para pemimpin (Khalifah) memfasilitasi dengan penuh persoalan ini.  Sebab paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang  berbeda. Di zaman Sultan ‘Abdul Hamid II,  Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Tentu keberadaan adanya fasilitas ini didasarkan pada aspek penting ibadah tersebut.  Secara politis ibadah haji mengandung makna persatuan umat dan merupakan bagian dari upaya syi'ar. Terlebih ini merupakan bagian dari tanggungjawab sebagai pelayan umat.
Semoga kelak keinginan kita untuk bisa menginjakkan kaki di rumah Allah serta keinginan memperoleh pemimpin yang meng bisa menyatukan umat bisa terwujud dalam waktu yang tidak lama lagi. Wallahu'alam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

3 Hal yang Bisa Diambil dalam Film "Miskin Susah Kaya Susah"

Beberapa hari yang lalu saya menonton sebuah film tahun 2013 yang berjudul "Miskin Susah, Kaya Susah". Film ini diangkat dari sebuah cerpen berjudul "Pispot" karya Hamsad Rangkuti. Film ini sempat tayang di salah satu stasiun TV swasta di negeri ini.  Berkisah tentang sepasang suami istri miskin yang hidupnya begitu nelangsa di sebuah kampung kumuh di pinggiran kota. Mas Karyo (Epy Kusnandar) hanyalah seorang tukang tambal ban. Namun kenyataan pahit harus ia terima saat anaknya Tini menderita sakit tumor otak. Saroh, Sang istri meminta suaminya untuk membawa anaknya ke rumah sakit agar bisa ditolong dan ditangani pihak medis.  Mas Karyo menunggu orang yang mampir ke lapak tambal bannya Namun nasib ! ia hanya seorang tukang tambal ban yang tak punya penghasilan tetap. Di sisi lain ia merasa bimbang dan khawatir dengan kondisi Tini.berbagai upaya ia lakukan dari meminjam uang hingga menjual TV, satu-satunya barang berharga yang ia miliki. Namun...

Aktif kembali!

  sudah lebih dari setahun lewat beberapamhari akhirnya saya kembali membuka blog ini. tulisan pertama tahun ini, kira-kira tentang apa ya?  akhirnya diputuskan bahwa tulisan tahun ini akan dimulai tentang serba-serbi ilmu tentang rumah tangga. kenapa? karena kajian atau ilmu rumah tangga masih sangat sedikit. padahal ilmu rumah tangga ini sangatlah penting. tidak kalah pentingnya dengan ilmu parenting. So, tunggu postingan selanjutnya ya.  Jangan lupa follow blogku ya 😘 sekian

Membangun Asa Pemerataan Pendidikan di Wilayah Timur Indonesia bersama PFP

Sumber : pixabay.com Sudah tahun 2024, namun pemerataan pendidikan masih jadi PR di negeri ini . Negeri yang punya potensi besar, namun masyarakatnya masih jauh dari mimpi SDM yang berkualitas. Namun kita tak patut hanya mengkritik tanpa ada aksi nyata.  Ada cerita yang sering aku  dengar dari Ayahku, saat aku kecil. Dulu, ayahku  bercerita bahwa  ia sangat ingin sekali mengenyam pendidikan hingga Perguruan tinggi. Saat itu, ayahku adalah seorang siswa SMK. Namun saat beliau masih kelas dua,  keinginannya untuk bisa masuk perguruan tinggi harus kandas karena perubahan kebijakan di negeri ini. Beliau pun akhirnya bertekad agar semua anaknya bisa merasakan belajar hingga ke perguruan tinggi dan mimpi itu terwujud. Semua anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi.  Jika ayahku punya mimpi agar semua anak-anaknya bisa merasakan bangku kuliah, maka begitupun yang dilakukan oleh Bhrisco Jordy Dudi Padatu. Pemuda kelahiran Jayapura yang punya s...