Langsung ke konten utama

Negeri Tanpa Rasa (ODOP Day 27 of 99)

                                         https://www.youtube.com/watch?v=79FQRiBPPPQ
Judul diatas merupakan salah satu judul film pendek berdurasi lima menit(diposting oleh akun Youtube: Ihsan Nur Azizi) yang cukup membuat saya tertarik sebab realitasnya ada dan terasa. Kebetulan sedang iseng mencari film-film pendek yang berisi kritik sosial,  akhirnya terpaut dengan film ini untuk sedikit memberi inspirasi opini lewat film tersebut.  

Film ini menggambarkan tentang kondisi Indonesia dan rasanya sepertinya saya tidak perlu menggambarkan ulang lewat tulisan ini sebab apa yang ada dalam film tersebut sudah kita lihat sendiri baik lewat TV, sosial media atau langsung di depan mata kita sendiri. Negeri ini memang sudah “mati” rasa. Tak ada rasa iba terhadap sesama, tak punya rasa malu bahkan rasa-rasanya pemimpin negeri inipun telah lupa diri. Lihat saja, tak hanya rakyatnya yang rusak dan tertinggal, rupanya pemimpin kitapun begitu. Entah siapa yang ikut-ikutan, saya jug tak tahu.

Rasanya memang terlalu panjang jika harus bercerita tentang negeri ini. Sebab seolah kita sedang berada dalam lingkaran setan yang tak tau dimana ujungnya. Terlalu banyak masalah hingga tak tau harus darimana menyelesaikannya. 
Tapi bukan berarti tak ada harapan. Sebab negeri ini dulu pernah dijajah. Semua rakyatnya tunduk pada penjajah. Berabad-abad lamanya rupanya tak menyurutkan bangsa ini untuk bebas dari penjajahan. Memang kondisinya berbeda. Tapi yang pasti negeri ini sama-sama sedang dijajah walaupun dengan penjajahan gaya baru. Harapan baru itu tentu harus mencul diantara generasi hari ini. Walaupun mayoritasnya telah tergerus oleh budaya asing yang seenaknya meracuni tapi semangat untuk bangkit dan bebas dari keterjajahan masih ada.

Lewat secercah komitmen untuk bebas tentu harus punya arah yang jelas. Negeri ini mau diarahkan untuk bebas kearah mana? Jangan sampai kondisi hari ini terulang dimasa depan. Tak ada yang mau jatuh untuk yang kedua kali apalagi berkali-kali di lubang yang sama. Pun tak elok rasanya jika masih percaya dengan sistem ini. Sebab jika terus menyalahkan rezim agaknya semenjak negeri ini merdeka realitasnya tak jauh berbeda. Bahkan lebih parahnya malah makin buruk.

Saya pribadi menawarkan islam. Bukan karena sebatas bahwa islam bisa menjadi pilihan Tapi lebih karena ini merupakan tuntutan sebagai bukti ketundukan pada pencipta alam semesta. Rasanya kurang apik jika kita hidup di bumi yang dibuat olehNya tapi tak mau tunduk pada aturannya. Lebih dari itu, memang tak ada lagi sistem yang bisa ditawarkan sebab penjajahan hari ini telah membuat kita menghamba pada aturan buat buatan manusia. Lalu tak inginkah kita merasakan kembali hidup dibawah aturanNya yang diri kita hanya menghamba padaNya? Semoga bisa kita renungi dan segera mengambil langkah untuk membebaskan negeri ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

3 Hal yang Bisa Diambil dalam Film "Miskin Susah Kaya Susah"

Beberapa hari yang lalu saya menonton sebuah film tahun 2013 yang berjudul "Miskin Susah, Kaya Susah". Film ini diangkat dari sebuah cerpen berjudul "Pispot" karya Hamsad Rangkuti. Film ini sempat tayang di salah satu stasiun TV swasta di negeri ini.  Berkisah tentang sepasang suami istri miskin yang hidupnya begitu nelangsa di sebuah kampung kumuh di pinggiran kota. Mas Karyo (Epy Kusnandar) hanyalah seorang tukang tambal ban. Namun kenyataan pahit harus ia terima saat anaknya Tini menderita sakit tumor otak. Saroh, Sang istri meminta suaminya untuk membawa anaknya ke rumah sakit agar bisa ditolong dan ditangani pihak medis.  Mas Karyo menunggu orang yang mampir ke lapak tambal bannya Namun nasib ! ia hanya seorang tukang tambal ban yang tak punya penghasilan tetap. Di sisi lain ia merasa bimbang dan khawatir dengan kondisi Tini.berbagai upaya ia lakukan dari meminjam uang hingga menjual TV, satu-satunya barang berharga yang ia miliki. Namun...

Lakukan Hal ini untuk jadi Public Speaker yang Handal

Dua belas tahun lalu saya adalah mahasiswa yang cukup aktif dalam organisasi kampus. Saya sempat aktif sebagai anggota BEM fakultas dan masuk bidang Penalaran dimana salah satu fokusnya adalah mengadakan seminar atau workshop di tingkat fakultas. Pengalaman inilah yang saat itu membuat kemampuan public speaking saya meningkat meski saya belum pernah menjadi pembicara dalam sebuah event .  Saat itu, saya cukup aktif memberikan komentar atau pertanyaan saat berada dalam forum diskusi. Ya, meski rasa grogi bahkan takut melakukan kesalahan dalam berpendapat namun saya terus memberanikan diri untuk berbicara di publik.  Dua belas tahun berlalu, saya berpikir kemampuan itu seolah tak terpakai terlebih setelah saya menikah dan mempunyai anak. Saya lebih banyak belajar tentang sesuatu yang dekat dengan keseharian saya sebagai seorang istri dan ibu. Hingga suatu hari saya pernah diminta untuk mengisi diskusi kecil tentang kepenulisan karena saya aktif menulis di media dan juga menulis...