Minggu, 30 September 2018

Bermimpi ke Baitullah



Semua orang pasti punya mimpi,  harapan dan cita-cita. Termasuk bermimpi dan bercita-cita untuk pergi ke Baitullah.  Bukan hal mudah ketika seseorang punya mimpi tersebut.  Sebab ada harga yang harus dibayar agar bisa pergi kesana.
Namun pernahkah kita berpikir bahwa dahulu ada masa saat pergi ke baitullah bukanlah hambatan besar?
Namun seolah tak terbayangkan oleh kita hari ini sebab faktanya kita bisa melihat ada orang yang harus bertahun-tahun menabung dan menyisihkan penghasilannya agar kelak bisa berkunjung ke rumah Allah untuk bisa menunaikan ibadah haji atau umrah.  Adapula yang sudah punya kemampuan harta namun ia harus menunggu antrian panjang ketika ingin pergi menunaikan haji.
Padahal dahulu, saat islam masih berjaya para pemimpin (Khalifah) memfasilitasi dengan penuh persoalan ini.  Sebab paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang  berbeda. Di zaman Sultan ‘Abdul Hamid II,  Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Tentu keberadaan adanya fasilitas ini didasarkan pada aspek penting ibadah tersebut.  Secara politis ibadah haji mengandung makna persatuan umat dan merupakan bagian dari upaya syi'ar. Terlebih ini merupakan bagian dari tanggungjawab sebagai pelayan umat.
Semoga kelak keinginan kita untuk bisa menginjakkan kaki di rumah Allah serta keinginan memperoleh pemimpin yang meng bisa menyatukan umat bisa terwujud dalam waktu yang tidak lama lagi. Wallahu'alam

Jumat, 21 September 2018

Menjadi Orang Tua Yang Dirindukan Surga


Berbicara pendidikan anak yang menjadi tugas orang tua tentu bukan hanya menjadi tugas para ibu tetapi juga para ayah. Sebab ada kalanya posisi ibu lebih tinggi dari ayah begitupun juga sebaliknya. Maka menjadi sebuah mimpi di siang bolong jika kita mengharapkan generasi kita menjadi generasi terbaik namun pendidikan anak hanya dibebankan pada sang ibu. Ayah harus ikut berperan bahkan berada pada posisi terdepan menanamkan visi misinya kepada generasinya sekalipun keberadaan ayah lebih banyak berada di luar rumah dikarenakan ada kewajiban nafkah.

Setiap orangtua tentu memiliki harapan menjadi orang tua yang dirindukan surga yang kelak generasinya menjadi generasi cerdas yang menjadikan islam sebagai pedoman hidup. Namun sering dari kita justru mendidik anak kita bukan dengan cara islam. Belum lagi , kebanyakan orang tua mengukur cara mendidik generasinya sesuai dengan ukuran orang tuanya. Sering kita mendengar komentar orang tua saat melihat anaknya dididik oleh sekolah atau orang yang dipercaya, “cara begitu apa tidak memberatkan si anak ya ustaz?” atau “kayanya berat banget ya beban belajar anak saya sekarang.” Dan komentar lain yang sejenis. Padahal jika kita mau mengukur diri kita, siapa diri kita yang hanya seorang yang kesolehannya masih sedikit, ibadah masih minim dan lain sebagainya. Oleh karenanya ukurlah diri kita.

Maka berbicara pendidikan anak harus dimulai dari orang tuanya bukan dari anak. Sebagaimana doa yang sering kita lantunkan,

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

(Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yun waj’alna lilmuttaqina imama)

Artinya: “Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” Lihat Al Quran surat Al Furqan:74.

Namun menjadi fakta yang miris saat orang tua mengaharapkan anaknya berubah atau menjadi soleh sedangkan orang tuanya tidak menanamkan kesolehan dalam dirinya. Padahal rasulullah bersabda,

"Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?” (Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik t dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad t dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari t dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim t dalam Kitabul Qadar (no. 2658))

Dalam sabda Rasulullah di atas mengindikasikann bahwa pendidikan yang paling utama bukan berada di luar rumah walaupun sebagus apapun kurikulum pendidikannya. Namun ia terletak pada diri ayah dan bunda. Allah swt berfirman dalam surat Al Balad : 3
“Demi ayah dan apa yang dilahirkannya.” (TQS. Al balad : 3)
Lihatlah betapa allah telah bersumpah demi anda para ayah. Namun menurut para ahli tafsir ayat ini juga berbicara tentang ibu sebab dalam kata “apa yang dilahirkannya” mengandung makna anak yang dilahirkan dari rahim ibu. Sebab secara fisik yang melahirkan adalah ibu. Ketika allah bersumpah dengan menyebut makhluknya (dan hanya Allah yang berhak bersumpah atas namanya makhluknya) tentu hal tersebut bukanlah perkara kecil namun perkara yang besar dan penting. Maka jika anda para ayah tidak berfungsi sebagaiman mestinya seorang ayah begitupun juga para ibu. Ketika ada aspek pengabaian maka sejatinya kita mengabaikan perintah Allah SWT. Maka oragtua harus berjalan bukan hanya atas dasar semangat tetapi juga harus dengan ilmu. Sebab kesolehan orang tua adalah hal yang penting dan merupakan bagian dari tuntutan ayat.

Namun kondisi ideal itu jarang kita temui hari ini. terkadang kesolehan yang lebih tinggi justru terdapat pada anak. Hal ini kita temukan pada anak-anak yang dimasukkan oleh orang tua ke sekolah-sekolah islam atau pesantren. Padahal kita tahu mengupakan kesolehan kita adalah sebuah kebuah kebaikan yang harusnya diperjuangkan pula oleh para orang tua. Allah sendiri yang memerintahkan kepada kita untuk berlomba dalam kebaikan. Bukan kita justru mengalah pada keadaan. Sebagai contoh jika sekolah menyuruh anak kita untuk menghafal al Quran maka orang tuapun harusnya melakukan hal yang sama. Bukan sekedar berkata “hafalkanlah al quran, Nak. Sebab kelak hafalanmu itu yang kan menolong kami nanti.”

Padahal kesolehan orang tualah yang akan menyelamatkan anak-anak dan keturunannya sebab dengan kesolehan orang tua akan lahir kebaikan dan kekaguman anak terhadap orang tuanya. Jangan sampai ada fenomena kesolehan yang tertukar. Dimana anak justru lebih soleh dari orang tuanya. Hal ini memang tidak 100% salah namun juga tidak berarti 100% benar. Sebab jika anak lebih soleh daripada orang tuanya sedangkan di rumahnya ia tidak menemukan kekaguman pada diri orang tuanya maka saat anak keluar rumah sang anak akan mencari idola lain di luar rumahnya. Padahal belum tentu yang ia temui adalah kebaikan.

Mari kita mulai sadar diri sebagai peran kita dalam pendidikan anak. Ambil peran anda walaupun hanya sedikit dan harus dimulai dengan terseok-seok. Sebab keberhasilan kita mendidik anak kelak akan menjadi penyelamat bagi kita di yaumil akhir. Sebagaiamana sabda Rasulullah bahwa salah satu amalan yang tidak terputus adalah doa anak yang soleh. Kelak doa-doa mereka membawa manfaat untuk kita yang akan mengangkat derajat kita dihadapan Allah SWT. Wallahu’alam


Noted : Tulisan ini adalah hasil merangkum dari ceramah Ustaz Budi Ashari, Lc dengan judul "Orang Tua Yang Dirindukan Surga"

Label: