(www.pinterest.com)
“Bapak minta
maaf, Nak. Bapak yang salah.“
Aku melihat
pipinya basah. Matanya gerimis sambil tertunduk seolah menyesali sesuatu hal.
“Pak? Kenapa
bapak meminta maaf? “
“Bapak ngga
pernah memukul slamet, walaupun dulu bapak pernah mukul tapi aku sudah
memaafkan bapak. “
Namun sepertinya
ia tak kuasa berkata-kata lagi hingga kami terhanyaut keheningan dan Bapak
pergi melangkah menuju ruang tamu.
Seolah tak pernah
ada kejadian malam tadi, pagi itu seperti biasa bapak pergi mengayuh becak. Ya,
ayahku hanya seorang tukang becak. Mencari serpihan rezeki dari mengayuh becak
untuk mengais rezeki walaupun kami hanya tinggal berdua. Bapak bilang kalau ibu
meninggal ketika usiaku masih satu tahun karena sakit.
Namun siang
itu....
“Met...met...bapakmu..bapakmu
pingsan.”
Seorang teman
seperjuangan bapak yang sama-sama tukang becak berllumuran keringat karena ia
berlari untuk memberitahu perihal bapak
“Sekarang bapakmu
sudah dibawa kerumah sakit. Tadi bapakmu sempat muntah darah dan habis itu
pingsan.“
Aku segera
menemui bapak. Aku dapat kabar dari bibi rupanya sudah lama bapak sakit. Ya, ia
terkena kanker paru-paru stadium akhir. Selama
ini memang bapak sering batuk-batuk apalagi ketika malam hari tapi aku tak
menyadarinya kalau bapak terkena kanker paru.
Selang beberapa
hari rupanya Bapak meminta pulang terlebih tak ada uang untuk membiayai bapak
selama di rumah sakit. Kami pulang walau aku tak tahu apakah bapak lebih baik
atau justru lebih buruk.
Malam itu sedikit
berbeda, bapa hanya terbaring di ranjangnya. Tapi beliau memintaku untuk
menemani malam ini saja. Namun rupanya raut wajah bapak terlihat gelisah hingga
membuatnya tak bisa tidur.
“Bapak butuh
sesuatu?” Aku bertanya padanya karena ia seperti menahan rasa sakit.
“Met, bapak ngga
tahu apa Bapak masih bisa memaafkan diri bapa sendiri atas kepergian ibumu.”
Kembali bapak
menitikkan air mata
“Dan apa kamu
juga bisa memaafkan bapak.”
“Dulu waktu ada
ibumu bapak sering ngga pulang ke rumah karena setiap malam bapak berjudi. Bahkan
bapak jarang sekali memberi nafkah pada ibumu.“
“Ibumu itu
orangnya sabar. Dia bahkan tidak pernah memperlihatkan kalau sedang marah. Ibumu
lebih banyak diam. Hanya satu kali ia cerewet dalam satu hal.”
“Sholat, Nduk.
Sholat”
“Bahkan menjelang
kematiannya ia tidak pernah berhenti meminta kepad bapak untuk sholat. “
“Kata-kata ibumu
terus terngiang-ngiang hingga ia benar-benar pergi meninggalkan Bapak. Mata sayunya
yang dulu selalu terlihat ternyata karena ibumu sakit. Hingga akhirnya ajal
menjemputnya. Semenjak tu bapak menyesal, menyesal karena tidak pernah bersama
dengan kalian hingga ibumu pergi meninggalkan kita.“
“Nak, bapak ini
ngga punya apa-apa yang bisa untuk dibagi. Bapak hanya ingin meneruskan pesan
ibumu. Jangan pernah tinggalkan sholat, Nak.”
“Sebab ia yang
akan menjaga perkataan dan perbutanmu. Sholatlah dengan benar. Ketika nanti kau
berkeluarga maka didiklah anakmu dengan benar dan pesankan kepada mereka untuk
jangan pernah meninggalkan sholat.”
Rasanya tak
pernah aku menikmati malam seperti malam ini. Bapak tak pernah selama ini
mengajak ngobrol denganku. Pesan bapak begitu mendalam. Ah, rasanya aku ingin
mengulang saat-saat seperti ini.
Rupanya malam itu
menjadi malam terakhir kebersamaanku dengan bapak. Ya, bapak telah tiada. Bapak
pergi dengan pesan sederhana namun mandaalam. Keperginnya meninggalkan momen
indah antara aku dengannya. Perbincangan tadi malam menajdi obrolAn yang menyisakan
kenangan. Andai waktu bisa diputar, mungkin aku ingin obrolan malam tadi dimulai sejak pertama kali
aku masuk sekolah. Namun takdir berkata lain.
Selama ini memang
bapak tak pernah banyak bicara. Bahkan untuk sekedar menyuruhku untuk sholatpun
tak pernah. Tapi mungkin rupanya selama ini bapak berpikir bahwa aku tak boleh
bernasib sama dengannya. Ia menyekolahkanku ke sebuah sekolah islam dan
mengantarkanku untuk mengaji bersama Ustadz Abdullah setiap sore.
Bapak, mungkin
kasihmu tak selembut ibu. Tapi kini aku tahu bahwa engkau punya cara sendiri
memberikan kasih sayang dan perhatianmu.
Jatinangor