Sabtu, 31 Maret 2018

Perjalanan..

Jumat lalu dan memang sedang ada libur kerja,  suami mengajak saya untuk pergi ke tempat percetakan.  Niatnya memang sudah lama ingin mencetak sebuah buku yang sudah lama diutak-atik untuk diedit.  Tapi karena memang sekalian ingin jalan-jalan akhirnya suami mengajak saya untuk ikut.  Ditambah juga karena perjalanan yang cukup jauh, suami ingin da yang menemani agar bisa sambil menikmati perjalanan yang ditempuh.

Ternyata memang lumayan jauh.  Butuh waktu sekitar 3 jam untuk sampai kesana.  Belum lagi jalur yang kami pilih adalah jalur dengan jalanan yang berbukit dengan tanjakan dan turunan yang cukup ekstrim. Ditambah suhu yang lumayan menusuk denga hawa dingin pegunungan membuat kami ingin selalu berhenti dan mampir sejenak ke toilet.  😊

 Alhamdulillah sampai di tempat tujuan dengan selamat.  Setelah selesai menyelesaikan beberapa agenda di tempat percetakan maka kamipun pulang.  Kami menyegerakan untuk langsung pulang dan tak mampir kemana-mana sebab sudah sangat lelah.  Walaupun beberapa kali rasanya ingin berhenti karena sudah tak nyaman duduk terlalu lama di motor tapi kami tahan karena kami sudah ingin selonjoran.  

Kamipun sampai sekitar jam 4 sore dan alhamdulillah kami tak terjebak hujan walaupun saat itu sudah sangat mendung.  Lelah membuat kami ingin beristirahat dan menikmati makanan hangat sebagai penghilang rasa lapar.

****************

Hakikatnya hidup kita layaknya sebuah perjalanan.  Dunia memang tempat tinggal kita saat ini.  Namun ia sejatinya hanya "tempat percetakan". Jika telah selesai urusan maka kita akan sangat rindu untuk kembali ke rumah. Bahkan Rasulullah mengibaratkan hidup kita di dunia seperti seorang musafir atau orang yang safar (melakukan perjalanan)

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku, lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir[dan persiapkan dirimu termasuk orang yang akan menjadi penghuni kubur (pasti akan mati)].”

Maka sejatinya tak layak bagi kita untuk membangga-banggakan "harta" yang kita miliki di dunia ini kecuali hanya sekedar mengumpulkan bekal untuk kembali ke akhirat.  Wallahu'alam


Senin, 19 Maret 2018

Sebab Islam Punya Aturan Walau Hanya Urusan Kalender

Foto : https://www.crisismagazine.com
Hari ini seolah yang berbau islam yang tampak di ruang publik dianggap sesuatu yang aneh bahkan memperoleh pelarangan.   Seperti yang saat ini ramai diperbincangan di negeri ini.  penggunaan cadar di salah satu kampus yang melabeli sebagai kampus islam nyatanya dilarang bahkan mahasiswi yang menggunakan cadar mendapat ancaman dikeluarkan dari kampus.  Padahal cadar -walaupun beberapa ulama berbeda pendapat dalam hukumnya- namun cadar adalah bagian dari syariat islam.

Jika begitu, Apakah mereka yang melarang merasa tak bangga bahkan malu dengan islamnya?  Atau menganggap bahwa cadar identik dengan budaya kearab-araban sehingga dianggap aneh jika dikenakan dinegeri ini?  Atau bahkan orang yang memakai cadar adalah orang yang ekstrim,  radikal dan intoleran terhadap budaya di negeri ini?

Sungguh betapa miris dan piciknya pemikiran mereka.  Padahal islam yang dulu dibawa oleh Rasulullah begitu dibanggakan oleh para pengikutnya termasuk para sahabat.  sebab mereka mengganggap islam berbeda dengan ajaran-ajaran sebelumnya.  Islam punya aturan yang mengatur seluruh aktivitas hidup manusia. Islam mengatur urusan perempuan begitupun dengan pakaiannya sebagai upaya untuk menutup aurat mereka. Ini Baru soal urusan menutup aurat.
Lebih dari itu urusan penanggalan juga diatur oleh islam.  Kita kenal bahwa dalam islam dikenal dengan penanggalan tahun hijriyah.  Penetapannya terjadi di era Khalifah Umar bin Khattab.

Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa Al-Asy-‘Ari radhiyahullahu’anhu; sebagai gubernur Basrah kala itu, dari khalifah Umar bin Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui sepucuk surat,

إنه يأتينا منك كتب ليس لها تاريخ

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”

Dalam riwayat lain disebutkan,

إنَّه يأتينا مِن أمير المؤمنين كُتبٌ، فلا نَدري على أيٍّ نعمَل، وقد قرأْنا كتابًا محلُّه شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.
Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.

Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander). Yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Nabi shallallahu’alaihiwasalam ke kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hati Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu ternyata condong kepada usulan ke dua ini,

الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها

” Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu mengutarakan alasan.

Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.

Dari kisah diatas tentu kita patut bertanya mengapa Umar sampai harus menetapkan tahun sendiri.  Padahal bisa saja Umar mengikuti apa yang sudah ada kala itu yaitu penetapan tahun yang ditetapkan oleh romawi atau persia.  Namun Umar ingin bahwa agama ini tetap punya penanggalan sendiri.
Sungguh kita harusnya bangga dengan keberadaan atribut yang berasal dari islam.  Sebab pa yang dibawa oleh islam adalah salah satu bentuk kemuliaan.  Jika hari ini kita tak bangga dengan islam maka di yaumil akhir nanti apa yang bisa kita banggakan? Wallahu'alam 

Minggu, 11 Maret 2018

Melihat Apa Yang Kita Yakini (Terinspirasi dari Film The Discovery)


Seseorang yang tak memiliki keyakinan yang benar tentang kehidupan setelah mati akan membuat dirinya berbuat sesuka hatinya. Sedikit gambarannya ada dalam film berjudul The Discovery yang rilis pada tahun 2017.

Film ini bercerita tentang seorang ilmuwan bernama Dr. Harber yang membuat sebuah penemuan tentang adanya kehidupan pasca kematian melalui alat hasil ciptaannya. Namun rupanya penemuan ini membuat jutaan orang bunuh diri karena ingin merasakan adanya “kehidupan” selanjutnya. Sebagian lagi, mereka memilih untuk mendatangi Dr. Harber agar bisa melihat kehidupan masa depan. 

Namun setelah ditelusuri,  ternyata alat hasil ciptaanya bukan memberikan gambaran tentang kehidupan setelah mati tetapi gambaran kehidupan berbeda dari manusia selama di dunia.

Apa yang bisa kita ambil dari film tersebut? Dari film ini kita belajar memahami bahwa hakikatnya tak ada manusia yang siap mati. 

Di sisi lain keberadaan orang-orang yang tak mengimani Tuhan (Allah) dan adanya kehidupan setelah mati akan berpikir bahwa kehidupan hanya ada di dunia. Setelah manusia meninggalkan dunia maka ia berpikir bahwa semua manusia akan dikembalikan oleh sang pencipta di surga. Meski ada juga manusia yang tak meyakini kehidupan setelah mati. 

Padahal jika kita betul-betul beriman maka sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan tempat kita mengumpulkan bekal untuk kembali. Inilah gambaran islam. 

Islam menjadikan dunia sebagai tempat sementara untuk bisa memperoleh "bekal". Bagi seorang muslim dunia bukanlah tempat yang dijadikan rujuan akhir. Suatu saat ia akan kembali pada sang pencipta.

Maka kehidupan setelah mati memang hanya diyakini oleh orang yang memiliki iman. Sejatinya, tak perlu dengan keberadaan penemuan ilmiah untuk bisa merasakan dan membuktikan adanya kehidupan setelah mati sebab dengan keyakinan yang benar tentangNya maka kitapun akan mempercayai adanya kehidupan tersebut.

Dampaknya akan berbeda antara orang yang percaya karena keimanan dengan yang hanya karena penemuan ilmiah. Mungkin bisa saja seseorang akan bertambah keimanannya dengan adanya penemuan ilmiah namun keimanannya takkan utuh sebab ia akan percaya jika ada pembuktian terlebih dahulu. Hanya sedikit yang kemudia ada pada taraf mengimani seutuhnya meski penelitian yang ada bisa saja hilang. 

Maka sebagai muslim tentunya jika kita sudah mempercayai Allah sejatinya kita tinggal hanya mengimani dan menjalani apa yang menjadi syariatNya. Tapi juga mempercayai perkara-perkara yang tak dapat dijangkau oleh akal dan panca indera. Sebab dengan meyakini maka kita akan ‘melihatnya”. 

Lalu apa yang bisa kita lakukan di dunia ini? 
Fokuslah pada mengumpulkan amalan-amalan selama di dunia untuk bekal menuju “kesana”. Wallahu’alam


Keyakinan-memperkuat-iman

Label: