Tahun 2018 merupakan tahun politik. Setidaknya dari 17
Provinsi yang akan mengadakan Pilkada serentak ada 56 pasangan Cagub dan
Cawagub yang telah terdaftar dan sudah
terseleksi. Sejak akhir tahun 2017 hingga awal tahun 2018 memang banyak sekali
para calon pemimpin berkoar-koar menjadi aspirator rakyat. Bukan tanpa sebab,
terlebih karena hal ini memang menjadi awal babak baru bagi para calon pemimpin
daerah. Satu persatu mencari dan kemudian menggandeng untuk berkoalisi agar
dapat mendulang suara. Berbagai visi misi dibuat dan mulai blusukkan
semata-mata agar mendapat hati rakyat. entah benar atau tidak faktanya tak
sedikit dari mereka yang kemudian tampil merakyat. Dengan tampil sederhana
sehingga bisa dipandang dekat hingga terjun ke pasar atau tempat-tempat umum
kerap dilakukan. Setelah terilih para pemimpin daerah ini memanga getol
mewujudkan aspirasi rakyat walaupun tidak sedikit pula yang akhirnya terjerat
korupsi.
Sungguh kami sebagai rakyat jadi teringat ketika dulu pemimpin negara
kami sempat menjadi seorang kepala daerah di suatu wilayah. Ia begitu dekat
dengan rakyat karena dianggap mampu mewujudkan aspirasi rakyatnya bahkan ia
sempat memperoleh gelar sebagai walikota terbaik. Tak tanggung-tanggung ia
memperoleh penghargaan dilevel internasional. Hingga akhirnya ia kemudian
menjadi kepercayaan rakyat negeri ini untuk mempimpin sebuah negara. Jargon
merakyat terus digaungkan semata-mata ingin memperlihatkan bahwa ia berbeda
dengan pemimpin sebelumnya
Namun nyatanya waktu berkata lain, semakin tinggi jabatan
sang raja ternyata malah membuat rakyat negeri ini sengsara. Harta rakyat
dikeruk untuk kemudian dijual kepada asing, rupanya raja juga gemar berhutang.
Dengan dalih sebagai bentuk kerjasama dan upaya membangun insfrastruktur demi
menunjang kemajuan bangsa ini faktanya negeri ini justru lebih banyak rugi. Tak
ada makan siang gratis. Menambah hutang berarti membuat negeri ini harus tunduk
pada rentenir berdasi.
Rupanya kami dibutakan oleh kaos oblong milik raja.
Pesona sederhananya telah membuat padangan kami kabur hingga kami percaya
padanya. Pemimpin yang kami percaya telah berdusta. Memang tak bisa dipungkiri
bahwa mengurus negeri yang besar ini tak mudah. Namun pemandangan yang kami
lihat rasanya sudah cukup membuktikan bahwa raja telah “menjual” negeri ini.
Belum lagi jeritan rakyat miskin karena semua serba “melangit”. Listrik,
sembako, biaya sekolah hingga kesehatan tak bisa dibayar dengan harga yang sedikit.
Praktek korupsi para tikus berdasi tak pernah luput dari pemberitaan media.
Kepercayaan kami lewat pemilu nyatanya telah dikhiananti.
Padahal kami yang memilih langsung mereka yang duduk di panggung demokrasi. Ini
bukan sekedar salah pemimpin kami. Tapi ini juga salah sistem yang hidup negeri
ini. Sistem yang mengakomodir hak rakyat untuk memilih langsung dan membuat
hukum sendiri justru malah memberi kerusakan. Pemimpin kami berkhianant karena
mereka memilih para cukong-cukong berduit sebab keterpilihannya karena mereka.
Kami juga yang salah menganggap demokrasi baik. Slogan
“dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” sehingga rakyat yang berdaulat
hanyalah omong kosong. Negeri ini mayoritas muslim. Semua pemimpin negara ini
muslim namun justru mengkhianati isi dalam kitab yang menjadi keyakinannya. Al
quran telah berbicara
“.....hak membuat hukum hanyalah Allah” (TQS. Al An’am : 57)
Dan Allah SWT telah memberikan peringatan
Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Mungkin inilah balasan bagi kami yang percaya dengan “Kaos Oblong” milik
raja.
Komentar
Posting Komentar