Langsung ke konten utama

Mungkinkah Kami Harus Menambal Iman? (ODOP Day 9 of 99)


“Marni...Marni...”
“Ada apa, Mas?”
“Hari ini temani masmu ini ya J
“Kemana mas? Sekarang?”
“Iya, sekarang. Berkas yang harus aku kerjakan tertinggal di kantor sedangkan besok harus sudah beres untuk bahan presentasi.”

Sore itu kamipun pergi dengan motor doyok yang sudah menemeni hampir dua tahun lamanya. Namun sore itu rasanya matahari enggan bersembunyi dalam balutan awan. Tepat jam 3 sore kami menyusuri jalanan berdebu dengan barisan truk-truk besar  yang seolah hampir menelan kami. Kurang lebih sekitar satu jam untuk menuju kesana.

Tak berselang lama, rupanya kami dapati ban belakang motor tertusuk benda tajam. Kamipun berhenti dan memeriksa sembari melihat sekeliling adakah tukang tambal ban disekitar situ.
“Mas, itu di depan ada tukang tambal Ban”
“Yang mana?”
“Itu, disebelah warung yang ada kakek-kakek berdiri” kataku sembari menunjuk rumah gubuk yang sudah sedikit reot.

Kamipun menuju kesana dengan menuntun sepeda mesin kami sembari membiarkannya tetap “on” agar tak terlalu berat kami mendorongnya.
“Bu, ini tukang tambal bannya kemana ya?”
“Ban belakang kami bocor”
“Saya, Mas. mau nambal ya Mas?" seorang lelaki tua menepuk bahu suamiku
"Ooh, iya Pak"
"Saya periksa dulu ya, Mas."

Ya, kami agak terkejut. Seorang kakek yang sudah kami lihat dari kejauhan sejak kami mencari tempat tambal ban rupanya ia seorang tukang tambal ban. Mungkin usianya lebih tua dari ayahku. Jika dilihat rau dan keriput wajahnya, usianya sekitar 80 tahun. Sejak pertama ia “menerima” motor kami kami melihatnya seolah tak ada rasa lelah yang tersirat di wajahnya. Hingga kakek itu sadar kami memperhatikannya hingga ia membuka pembicaraan dengan senyum yang membuat keriput diwajahnya makin terlihat.

“Bapak ini sudah tua, Mas. Bapak juga ngga punya harta berlebih untuk bisa disedekahkan. Tapi setidaknya bapak masih punya tenaga untuk bisa memberi kemudahan untuk orang lain.

“Dulu bapak berpikir, kenapa Allah begitu tidak adil dengan bapak? padahal sudah puluhan tahun bekerja sebagai tukang tambal ban tapi rasanya tidak bisa memberi manfaat karena bapak sendiri saja sampai hari ini masih bingung bagaimana menambal kekurangan kebutuhan sehari-hari bapak dan keluarga.“

“Tapi setelah bapak sering mendengar cermah Ustadz X di radio, bapak sadar dan yakin, Mas. Allah itu ngga pernah tidur.”

“Bapak berpikir, pasti ada hal yang bisa bapak lakukan untuk bisa mengumpulkan bekal “pulang” nanti. Setidaknya selama bapak masih mampu dengan masih menjadi tukang tambal ban bapak bisa memberi manfaat untuk orang lain. Sebab bapak sudah tak punya keahlian lain. “

Allahu robbii..sontak kami merasa sangat tertampar oleh kata-katanya. Kami yang tak kekurangan harta nyatanya lebih sering enggan menginfakan harta. Bahkan terkadang kami masih ragu bersedekah seolah kami tak punya Allah yang telah menjamin rezeki. Jangankan harta, tenaga saja kadang tak kami “hibahkan” untuk orang lain dan kemaslahatan umat ini.  

Wahai Zat yang menjamin hidup dan mati kami, mungkin kami yang harus masih menambal iman kami. Menambal keyakinan kami terhadapMu sebagai penjamin rezeki terkadang hampir punah dikala kami dirundung kesempitan. Padahal firmanMu begitu indah memberikan ketenangan pada kami

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“…… dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya” (Surah Hud, ayat 6).
Semoga sedikit cerita singkat ini bisa kita ambil sebagai hikmah dan menambah keimanan kita kepada Allah SWT

Jatinangor


Jatinangor

Komentar

Postingan populer dari blog ini

3 Hal yang Bisa Diambil dalam Film "Miskin Susah Kaya Susah"

Beberapa hari yang lalu saya menonton sebuah film tahun 2013 yang berjudul "Miskin Susah, Kaya Susah". Film ini diangkat dari sebuah cerpen berjudul "Pispot" karya Hamsad Rangkuti. Film ini sempat tayang di salah satu stasiun TV swasta di negeri ini.  Berkisah tentang sepasang suami istri miskin yang hidupnya begitu nelangsa di sebuah kampung kumuh di pinggiran kota. Mas Karyo (Epy Kusnandar) hanyalah seorang tukang tambal ban. Namun kenyataan pahit harus ia terima saat anaknya Tini menderita sakit tumor otak. Saroh, Sang istri meminta suaminya untuk membawa anaknya ke rumah sakit agar bisa ditolong dan ditangani pihak medis.  Mas Karyo menunggu orang yang mampir ke lapak tambal bannya Namun nasib ! ia hanya seorang tukang tambal ban yang tak punya penghasilan tetap. Di sisi lain ia merasa bimbang dan khawatir dengan kondisi Tini.berbagai upaya ia lakukan dari meminjam uang hingga menjual TV, satu-satunya barang berharga yang ia miliki. Namun...

Lakukan Hal ini untuk jadi Public Speaker yang Handal

Dua belas tahun lalu saya adalah mahasiswa yang cukup aktif dalam organisasi kampus. Saya sempat aktif sebagai anggota BEM fakultas dan masuk bidang Penalaran dimana salah satu fokusnya adalah mengadakan seminar atau workshop di tingkat fakultas. Pengalaman inilah yang saat itu membuat kemampuan public speaking saya meningkat meski saya belum pernah menjadi pembicara dalam sebuah event .  Saat itu, saya cukup aktif memberikan komentar atau pertanyaan saat berada dalam forum diskusi. Ya, meski rasa grogi bahkan takut melakukan kesalahan dalam berpendapat namun saya terus memberanikan diri untuk berbicara di publik.  Dua belas tahun berlalu, saya berpikir kemampuan itu seolah tak terpakai terlebih setelah saya menikah dan mempunyai anak. Saya lebih banyak belajar tentang sesuatu yang dekat dengan keseharian saya sebagai seorang istri dan ibu. Hingga suatu hari saya pernah diminta untuk mengisi diskusi kecil tentang kepenulisan karena saya aktif menulis di media dan juga menulis...

Negeri Tanpa Rasa (ODOP Day 27 of 99)

                                          https://www.youtube.com/watch?v=79FQRiBPPPQ Judul diatas merupakan salah satu judul film pendek berdurasi lima menit(diposting oleh akun Youtube: Ihsan Nur Azizi) yang cukup membuat saya tertarik sebab realitasnya ada dan terasa. Kebetulan sedang iseng mencari film-film pendek yang berisi kritik sosial,  akhirnya terpaut dengan film ini untuk sedikit memberi inspirasi opini lewat film tersebut.   Film ini menggambarkan tentang kondisi Indonesia dan rasanya sepertinya saya tidak perlu menggambarkan ulang lewat tulisan ini sebab apa yang ada dalam film tersebut sudah kita lihat sendiri baik lewat TV, sosial media atau langsung di depan mata kita sendiri. Negeri ini memang sudah “mati” rasa. Tak ada rasa iba terhadap sesama, tak punya rasa malu bahkan rasa-rasanya pemimpin negeri inipun telah lupa diri. Lihat saja, tak han...