“Marni...Marni...”
“Ada apa, Mas?”
“Hari ini temani masmu ini ya J”
“Kemana mas? Sekarang?”
“Iya, sekarang. Berkas yang harus aku kerjakan tertinggal di kantor
sedangkan besok harus sudah beres untuk bahan presentasi.”
Sore itu kamipun pergi dengan motor doyok yang sudah menemeni hampir dua
tahun lamanya. Namun sore itu rasanya matahari enggan bersembunyi dalam balutan
awan. Tepat jam 3 sore kami menyusuri jalanan berdebu dengan barisan truk-truk
besar yang seolah hampir menelan kami. Kurang
lebih sekitar satu jam untuk menuju kesana.
Tak berselang lama, rupanya kami dapati ban belakang motor tertusuk benda
tajam. Kamipun berhenti dan memeriksa sembari melihat sekeliling adakah tukang
tambal ban disekitar situ.
“Mas, itu di depan ada tukang tambal Ban”
“Yang mana?”
“Itu, disebelah warung yang ada kakek-kakek berdiri” kataku sembari
menunjuk rumah gubuk yang sudah sedikit reot.
Kamipun menuju kesana dengan menuntun sepeda mesin kami sembari
membiarkannya tetap “on” agar tak terlalu berat kami mendorongnya.
“Bu, ini tukang tambal bannya kemana ya?”
“Ban belakang kami bocor”
“Saya, Mas. mau nambal ya Mas?" seorang lelaki tua menepuk bahu suamiku
"Ooh, iya Pak"
"Saya periksa dulu ya, Mas."
Ya, kami agak terkejut. Seorang kakek yang sudah kami lihat dari kejauhan
sejak kami mencari tempat tambal ban rupanya ia seorang tukang tambal ban. Mungkin
usianya lebih tua dari ayahku. Jika dilihat rau dan keriput wajahnya, usianya sekitar
80 tahun. Sejak pertama ia “menerima” motor kami kami melihatnya seolah tak ada
rasa lelah yang tersirat di wajahnya. Hingga kakek itu sadar kami
memperhatikannya hingga ia membuka pembicaraan dengan senyum yang membuat
keriput diwajahnya makin terlihat.
“Bapak ini sudah tua, Mas. Bapak juga ngga punya harta berlebih untuk bisa
disedekahkan. Tapi setidaknya bapak masih punya tenaga untuk bisa memberi
kemudahan untuk orang lain.
“Dulu bapak berpikir, kenapa Allah begitu tidak adil dengan bapak? padahal
sudah puluhan tahun bekerja sebagai tukang tambal ban tapi rasanya tidak bisa
memberi manfaat karena bapak sendiri saja sampai hari ini masih bingung
bagaimana menambal kekurangan kebutuhan sehari-hari bapak dan keluarga.“
“Tapi setelah bapak sering mendengar cermah Ustadz X di radio, bapak sadar
dan yakin, Mas. Allah itu ngga pernah tidur.”
“Bapak berpikir, pasti ada hal yang bisa bapak lakukan untuk bisa
mengumpulkan bekal “pulang” nanti. Setidaknya selama bapak masih mampu dengan
masih menjadi tukang tambal ban bapak bisa memberi manfaat untuk orang lain. Sebab
bapak sudah tak punya keahlian lain. “
Allahu robbii..sontak kami merasa sangat tertampar oleh kata-katanya. Kami
yang tak kekurangan harta nyatanya lebih sering enggan menginfakan harta. Bahkan
terkadang kami masih ragu bersedekah seolah kami tak punya Allah yang telah
menjamin rezeki. Jangankan harta, tenaga saja kadang tak kami “hibahkan” untuk
orang lain dan kemaslahatan umat ini.
Wahai Zat yang menjamin hidup dan mati kami, mungkin kami yang harus masih
menambal iman kami. Menambal keyakinan kami terhadapMu sebagai penjamin rezeki
terkadang hampir punah dikala kami dirundung kesempitan. Padahal firmanMu
begitu indah memberikan ketenangan pada kami
وَمَا مِن
دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“…… dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi
melainkan dijamin Allah rezekinya” (Surah Hud, ayat 6).
Semoga sedikit cerita
singkat ini bisa kita ambil sebagai hikmah dan menambah keimanan kita kepada
Allah SWT
Jatinangor
Jatinangor
Komentar
Posting Komentar